How to spot a nice person: they know you; seeing you walking down the road from inside their fancy car, they offer you a lift. 

Learned my lesson. Being nice has nothing to do with clothes you wear, cars you drive, places you've been to. It requires almost nothing.

Pagi ini saya bangun dengan perasaan aneh. Aneh karena tiba-tiba mengingat beberapa peristiwa menarik di masa lalu. Ketika saya SMP dan SMA, saya biasanya pulang dari sekolah ke rumah dengan menumpang angkutan umum (di sini kami menyebutnya "bemo", walaupun rodanya tidak tiga). Paginya orangtua yang mengantarkan kami (anak-anak) ke sekolah. Entah kena nasib apa, SMP dan SMA saya keduanya sekolah unggulan pada saat itu, dan diisi banyak anak dari keluarga kaya dan terpandang. Waktu itu status orangtua saya masih sebagai entrepreneur yang belum "sukses".  Maka tidak seperti murid-murid kebanyakan pada saat itu yang rata-rata diantar jemput (dan kebanyakan oleh sopir pula), sedikit dari murid-murid dari keluarga menengah ke bawah di mana saya termasuk di dalamnya, pulang naik angkot (saya sendiri harus beberapa kali dan diikuti dengan berjalan kaki). Harap diketahui, di Bali kami tidak memiliki kebiasaan menggunakan angkutan umum. Apalagi pada saat itu, angkutan umum masuk ke kategori kendaraan untuk orang-orang tidak mampu. Maka tak heran saya sering sekali kebarengan ibu-ibu yang berjualan di pasar.

Ada dua kejadian unik, aneh, ajaib, lucu (secara getir) yang saya ingat betul yang berhubungan dengan kebiasaan saya ngangkot jaman dulu ini. Dulu ketika ini terjadi, mungkin saya menganggapnya sepele. Katakanlah saya sekarang sedang sentimentil. Tapi pagi-pagi tadi ketika berangkat mengajar sembari mengingat kejadian ini, saya mbrebes mili sendiri di jalan. Sewaktu kelas 2 SMP, murid-murid kena giliran masuk sekolah siang hari. Tapi tiap kali pelajaran olahraga, biasanya kami pergi ke lapangan yang letaknya cukup jauh dari sekolah. Lagi, karena tidak ada yang mengantarkan, saya biasanya berjalan kaki ke tempat cari angkot, lalu ngangkot. Satu waktu ternyata ada teman sekelas yang melihat saya berjalan. Beberapa waktu berlalu dan suatu saat dia bertanya pada saya, "Kamu ke sekolah jalan kaki? Aku lihat dari mobil dan papaku tanya." Saya mengiyakan dan berlalu. Yang ke dua, ketika saya berjalan menuju tempat mencari angkot. Kebetulan yang satu ini angkot luar kota. Tiba-tiba seorang murid dari kelas sebelah tampak dari dalam mobil sedannya, tersenyum sambil melambaikan tangan. Walaupun sebenarnya tujuan kami searah, kendaraannya tetap melaju.

Lucu. Karena di tempat dan waktu lain ketika saya sama-sama masih SMP, malah terjadi peristiwa ini... Jika tidak berolahraga di lapangan, kami biasanya pergi berenang ke sebuah kolam renang. Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi cukup jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Suatu hari, ketika teman-teman lain satu per satu dijemput oleh penjemput masing-masing, entah orangtua atau sopir, saya "terdampar" sendiri, belum memutuskan antara ngangkot atau berjalan kaki saja. Tiba-tiba seorang murid kelas sebelah menawarkan diri untuk ikut paman dia saja. Saya pun diajak mendekat ke yang dia bilang sebagai mobil pamannya. Ternyata... di luar sudah ada sebuah mobil ceketer (biasanya mobil bekas angkot, mobil carry jenis tua) menunggu kami. Bagian belakang mobil sudah tidak ada tempat duduknya, dimodifikasi sedemikian rupa untuk mengangkut aneka jajanan ringan atau snack yang biasanya dijual di pasar dan warung-warung. Saya pun duduk di depan dengan teman saya itu, berdesakan di sebelah sopir. Yang membuat cerita ini menjadi lebih lucu dengan getirnya adalah siapa sebenarnya teman saya yang satu ini.

Yang pergi ke SMP yang sama dengan saya mungkin masih ingat dengan dia. Nama panggilannya diawali dengan K (saya lupa nama aslinya). Hingga saya SMA sampai kuliah masih banyak yang membicarakan dia. Katanya dia sudah masuk ke RSJ Bangli. RSJ? Rumah Sakit Jiwa? Iya, betul, mata Anda tidak salah. K dikenal aneh dan gila. Tiap hari sewaktu jam istirahat kerjanya berjalan-jalan dari kelas ke kelas, meracau, berkata-kata yang tidak masuk akal. Penampilannya pun tidak menarik, kumal, dan cenderung aneh. Walaupun demikian, adalah hobinya untuk mengaku dan mengatakan dirinya cantik. Maka tak heran dia hampir selalu jadi bahan cemohan dan bully murid-murid lain, terutama sekali anak-anak populer dan kaya. Saya tidak mengenalnya dengan dekat, tapi saya juga bukan di antara orang-orang yang membencinya. Akhirnya duduklah saya di dalam mobil ceketer itu. Tidak seperti mobil umumnya, kami berjalan cukup lamban, juga berputar-putar dan mampir ke pasar Badung. Dari situ saya bisa menyimpulkan pamannya berjualan di pasar itu. Saya sempat was-was tidak tahu dibawa ke mana, tapi pikiran saya salah. Akhirnya kami sampai juga.

Sesederhana kelihatannya ketiga peristiwa ini, ada satu hal yang bisa saya petik. Kebaikan seseorang seringkali tidak berhubungan dengan kemampuannya, apa yang dia miliki, pakaian yang ia kenakan, kendaraan yang ia kendarai, atau tempat-tempat yang sudah ia tuju. Seringkali orang-orang yang kelihatannya tidak mampu yang justru lebih bergegas dalam membantu sesamanya. Bisa jadi karena kegetiran sudah lama menjadi teman dekatnya. Maka melihatnya terjadi pada orang lain ia pun tak bisa tinggal diam. Ini lah inti dari empati; mampu ikut merasakan kesulitan orang lain, lalu mendorong kita untuk melakukan sesuatu. Yang menjadi kekhawatiran saya adalah ketika anak-anak jaman sekarang (atau bahkan sejak jaman saya dulu, dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang saya ceritakan di atas), telah diputus tali empati dan rasa belas kasihnya kepada sesama manusia, apalagi karena dibutakan dengan nilai-nilai hidup yang menjunjung tinggi materi dan individualitas, bahwa yang terpenting adalah memperkaya dan mengamankan diri, keluarga, dan dinastinya sendiri. Generasi seperti ini kah yang akan menjadi ahli waris kita?

Dengan segala kekurangan yang ada dalam keluarga saya, setidaknya saya masih ingat dan akan selalu mengingat satu kejadian ini. Ketika saya melihat  teman satu sekolah melambaikan tangan dari dalam mobil sedannya, satu waktu saya dan ibu dari dalam mobil carry kami melihat seorang teman sekolah saya dari kelas lain sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu angkot yang lewat. Saya pernah bersama-sama naik angkot yang sama dengan dia dan tahu bahwa rumahnya lebih dekat dari rumah saya. Maka ketika ibu bertanya siapa anak itu (karena mengenakan pakaian seragam yang sama) dan mendapatkan jawabannya, ia lalu memberhentikan mobilnya dan mengundang anak laki-laki bertubuh tambun itu untuk naik. Dia tidak mengatakan apa-apa selain terima kasih. Sekarang di saat lebih mudah bagi orang-orang untuk membeli kendaraan dan ada kebudayaan baru untuk ngangkot, mungkin memberi tumpangan bukan lah hal istimewa. Tapi saya tahu, walaupun dulu hanya satu yang memberikan saya tumpangan, saya harus memulai dari diri sendiri; selagi bisa, memberi tumpangan pada siapa yang membutuhkan, secara harfiah maupun metafora.

Peringatan: tulisan ini 100% subyektif. Saya memberikan kebebasan penuh bagi pembaca untuk setuju atau pun tidak menyetujuinya.