Tahukah Anda...

  • Bahwa tidak seperti yang dipercaya selama ini sebagai orang "asli" Bali, orang-orang "Bali Aga" disebut demikian karena mereka berasal dari desa Aga yang terletak di dekat Banyuwangi, Jawa Timur, yang mulai berdatangan ke Bali pada abad 8?
  • Bahwa pernah diceritakan seorang raja Bali memiliki 200 istri?
  • Bahwa di Bali pada jaman dahulu seseorang diperbolehkan dan tidak akan dihukum karena membunuh laki-laki yang menyentuh perempuan yang bukan orangtua, saudara, sepupu, atau suaminya?
  • Bahwa di masa dahulu pada saat-saat tertentu upacara Ngaben anggota keluarga kerajaan juga diikuti dengan tumbal wanita yang terjun ke dalam api yang terdiri dari wanita-wanita terdekat almarhum, seperti pada sebuah adegan di kisah cerita Ramayana?

Saya pun baru mengetahuinya belakangan ini. Terima kasih kepada 2 buah buku yang sedang saya baca, Bali's First People The Untold Story (dalam bahasa Inggris) dan Bali Tempo Doeloe (terjemahan dalam bahasa Indonesia). Selalu seru kembali ke masa lalu. Ketika membacanya seolah-olah saya dibawa ke masa beratus-ratus tahun lamanya, bahkan beribu tahun untuk buku yang pertama, ketika membaca asal muasal Bali sebelum menjadi sebuah pulau. Tak perlu lah menunggu lama sampai mesin waktu diciptakan, karena saya telah menemukannya. Mesin waktu itu ada di buku-buku sejarah.

mesin waktu buku sejarah

Saya percaya ilmu pengetahuan bisa memberi manusia kekuatan. Saya juga percaya bahwa  pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak seseorang (terutama sekali anak-anak), entah itu tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan terutama sekali alam semesta, harus senantiasa dihidupkan, bukan justru dibungkam. Banyak pertanyaan-pertanyaan ini timbul justru akibat dari kegelisahan dan kerumitan hidup yang seolah-olah ingin ditemukan jawabannya. Ibarat Google yang diciptakan sebagai tempat mencari solusi dengan memasukkan kata-kata kunci, maka buku adalah tempat mencari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan manusia dalam hidupnya.

Saya banyak menemukan jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang saya miliki selama ini tentang Bali di dua buku ini. Pertanyaan pertama adalah: dari mana orang-orang Bali berasal? Apakah betul orang-orang Bali yang saat ini tinggal di Bali berasal dari Majapahit? Sementara orang-orang yang lebih dulu (yang sering disebut "Bali asli") adalah mereka yang disebut Bali Aga? Jawabannya, yang dimaksud "orang Bali" (sebelum adanya eksodus besar-besaran akibat industri pariwisata di abad 20) adalah dua yang telah disebut, sementara penduduk Bali yang menetap pertama-tama adalah orang-orang Austronesia (manusia pra sejarah) yang kemungkinan besar bermigrasi dari Yunan, Cina (atau Tiongkok), sekitar 17.000 - 20.000 tahun lalu. Pada awalnya kelompok-kelompok manusia ini bermukim di wilayah yang berbeda di Bali dan kini kemungkinan besar telah bercampur aduk sedemikian rupa.

Pertanyaan ke dua, sebagai generasi yang lahir di tahun 80'an, bisa dibilang saya menikmati hanya sedikit sekali dari apa itu Bali yang "sesungguhnya"; kekayaan alam serta budaya dan adat istiadat yang indah dan berlimpah. Memasuki abad 21, tahun 2000, pembangunan infrastruktur di Bali mengalami perkembangan yang begitu cepat (sampai-sampai kebablasan hingga harus menggerus apa yang menjadi ciri khas Bali, alam dan budayanya), sampai-sampai saya sering merasa rindu Bali yang dulu saya kenal ketika kecil dan bertanya-tanya sendiri, jika alam dan budaya bukan lagi menjadi ciri khas Bali, maka apa lagi yang perlu diagung-agungkan dari industri maha dahsyat yang mampu mengubah wajah Bali yang polos menjadi angkuh ini?

Agak menyejukkan kiranya mengetahui bahwa Bali tidak selamanya seperti yang kita kenal sekarang: penuh dengan problematika kota modern seperti kemacetan, sampah, dan kemiskinan. Lewat catatan-catatan perjalanan orang-orang luar (Eropa, Asia, Jawa) mulai abad 16 (tahun 1500'an) hingga 20 (tahun 1900'an), saya mengenal Bali yang dulu, di mana orang-orang datang karena ketertarikan mereka yang tulus akan indahnya alam dan harmonisnya kehidupan budaya (bukan investor yang hanya tertarik pada kepentingannya sendiri dan pundi-pundi uang). Di beberapa catatan bahkan disebut betapa Bali adalah sebuah pulau yang mampu menyokong kehidupan ekonominya sendiri (self-sustaining). Dengan membacanya saya menjadi mengerti apa yang menyebabkan Bali begitu dipuja dan didamba (pada awalnya).

Saya pun berandai-andai jika saja mesin waktu telah ditemukan, saya akan pergi ke masa di mana Bali masih seperti yang diceritakan dalam buku-buku ini. Pasti akan sangat berbeda dengan Bali yang sekarang. Dan saya jadi membayangkan... Jika saja para leluhur dan orang-orang Bali pada jaman itu melalui mesin waktu berkunjung ke Bali sekarang, bisa saja mereka sedih atau marah, karena tanah kelahirannya dirusak, bahkan banyak telah bukan menjadi hak milik orang Bali sendiri. Bali tidak lagi mampu menyokong dirinya sendiri dan menjadi sangat bergantung pada kekuatan luar (luar Bali maupun Indonesia). Bisa kah Anda membayangkan betapa hancurnya hati mereka? Jika kita bisa kembali ke masa lalu lewat buku, kiranya para leluhur tidak bisa memprediksi masa depan. Tapi agaknya bagi kita belum terlambat.

Tidak butuh mesin waktu atau pun orasi penuh patriotisme (apalagi yang dibumbui chauvinisme) untuk menyadari kecintaan akan tempat tinggal kita - walaupun tak bisa dipungkiri kecintaan saya akan Bali muncul karena telah menetap di pulai ini selama bertahun-tahun. Beralih lah ke buku-buku sejarah. Tidak saja sejarah mengandung ilmu dan fakta (tentu yang telah diklarifikasi), tapi karena lewat sejarah kita bisa merefleksikan masa lalu dan menyongsong masa depan. Membaca sejarah juga berarti menjauhkan diri dari praduga, yang saat ini di sana-sini telah menjadi mesin ampuh pengadu domba. Lagipula, bukankah sangat disayangkan jika orang luar lebih memahami sejarah kita (penulis dan penyusun kedua buku adalah orang asing)? Maka segera ambil lah bukumu dan masuk lah ke dalam mesin waktu!

PS: petualangan saya dengan mesin waktu tidak akan berhenti sampai di sini. Nantikan petualangan saya berikutnya. :)